Thursday, November 05, 2015

Pelayanan dan Pertumbuhan Spiritual

Terdapat hubungan yang sangat erat antara pelayanan dan pertumbuhan spiritual seseorang. Pelayanan adalah sarana yang tidak kalah penting dalam mengembangkan kehidupan spiritual, tidak kalah penting dibandingkan refleksi, study, doa atau meditasi. Melalui pelayanan, seseorang belajar mencapai kematangan spiritual dan sekaligus seseorang memiliki kesempatan untuk membagikan kekuatan-kekuatan spiritual.

Pelayanan akan menjadi suatu praktik spiritual yang menarik bila dilakukan dari kedalaman. Pelayanan yang dilakukan hanya sebatas sebagai kewajiban moral, tuntutan agama, trend social, alat untuk menaikkan status atau popularitas bukanlah suatu praktik spiritual.

Pelayanan menjadi sebuah praktik spiritual apabila pelayanan pertama-tama menjadi kesempatan untuk berlatih melepaskan ego atau kepentingan diri dan memusatkan diri pada kepentingan sesama. Terdapat banyak praktik pelayanan atau karya-karya yang hebat yang bermanfaat bagi orang lain. Namun demikian, selama suatu pelayanan atau karya hebat masih digerakkan oleh ego, atau dipakai sebagai alat untuk memperkuat ego, maka pelayanan tersebut bukanlah praktik spiritual.

Pelayanan juga menjadi praktik spiritual apabila pelayanan tersebut menjadi kesempatan untuk menemukan nilai suatu tindakan dalam tindakan itu sendiri. Seorang murid bertanya kepada gurunya, “Adakah tindakan yang bisa membawa orang kepada pencerahan?” Gurunya menjawab, “Apabila Anda melakukan suatu tindakan dan menemukan nilai dari suatu tindakan di dalam tindakan itu sendiri, maka Anda tercerahkan.”

Dengan berlatih menyadari dan melepaskan kelekatan-kelekatan pada hasil yang diharapkan dari suatu tindakan, dan menemukan nilai tindakan bukan di luar tindakan tersebut, maka orang tersebut sedang melakukan praktik spiritual melalui tindakan atau pelayanan yang sedang dia lakukan. Bila Anda bersemangat dalam bekerja semata-mata karena upahnya besar, maka pekerjaan Anda tidak membawa kepada pencerahan. Sebaliknya, apabila Anda bersemangat dalam bekerja karena menemukan nilai dalam pekerjaan itu sendiri, dan menganggap upah yang Anda terima tidak lebih sebagai bonus, maka pekerjaan Anda telah membawa Anda pada pencerahan.

Dengan melepaskan ego atau kepentingan diri, belajar memusatkan perhatian pada kebutuhan sesama, belajar menyadari dan melepaskan kelekatan-kelekatan pada hasil yang kita inginkan, maka kita secara alamiah akan dipertemukan dengan Sesuatu yang Lain yang jauh lebih besar dari apa saja yang kita kenal. Sesuatu yang Lain ini bisa dinamai dengan istilah “Allah”, “Cinta, “Kecerdasan Ilahi”, “Kesadaran Agung”, “Kekuatan dari Dalam”, atau tidak perlu diberi nama.

Mahatma Gandhi pernah mengatakan begini, “The best way to find yourself is to lose yourself in the service of others.” (Cara terbaik untuk menemukan diri adalah dengan melepaskan diri melalui pelayanan kepada sesama.) Sesungguhnya, dengan melepaskan diri sendiri, kita bukan hanya menemukan diri kita yang sesungguhnya, tetapi juga kita dipertemukan secara alamiah dengan “Allah” atau kita ditemukan di dalam “Allah”.

Apabila kita berakar pada dimensi kedalaman dan terhubung dengan Sesuatu yang Lain ini, maka terdapat rasa kepenuhan atau kelimpahan. Rasa kepenuhan atau kelimpahan ini tidak ada kaitan dengan berapa banyak hal dari dunia bentuk—uang, materi, pengakuan dari luar—kita miliki. Anda tidak perlu memiliki sesuatu untuk bisa merasakan kelimpahan atau kepenuhan di dalam hati. Hanya ketika Anda bersentuhan dengan dimensi kedalaman ini, maka rasa kepenuhan atau kelimpahan itu mekar secara alamiah seperti sebuah bunga yang mekar secara penuh ketika ia telah berada pada kondisinya yang matang.

Begitu Anda menemukan rasa kepenuhan atau kelimpahan dari dalam hati, dan Anda mulai bertindak dari kedalaman dengan menjadikan tindakan Anda sebagai wujud kepenuhan dari dalam ini, hampir bisa dipastikan segala kebaikan akan dipertemukan kepada Anda. Barangkali Anda terkaget-kaget karena Anda tiba-tibat dipertemukan dengan orang-orang yang datang memberikan pertolongan tepat pada saatnya. Barangkali Anda dipertemukan dengan pekerjaan yang cocok dengan minat Anda. Barangkali Anda dipertemukan dengan situasi-situasi yang membuat Anda tumbuh lebih matang dan kuat.

Ketika Anda mulai hidup dari kedalaman—dengan menyadari dan melepaskan ego, menyadari dan melepaskan kelekatan pada hasil, menemukan nilai tindakan dalam tindakan, terhubung dengan Sesuatu yang Lain, merasakan kepenuhan atau kelimpahan–Anda selalu berada dalam pelayanan kepada orang lain. Apapun yang Anda lakukan—memasak, menghidangkan makanan, mengurus pekerjaan rumah tangga, menjalankan bisnis, bekerja di kantor, mengajar, terlibat dalam kegiatan social atau keagamaan, menemani orang lain atau menolong sesama yang membutuhkan—bisa menjadi suatu manifestasi dari kepenuhan atau kelimpahan dari dalam hati.

Anda bisa melakukan karya-karya hebat atau pelayanan-pelayanan besar dalam ukuran penilaian dunia hanya dengan kekuatan ego Anda. Tetapi Anda tidak mungkin bisa melakukan pelayanan terbesar sebagai suatu praktik spiritual tanpa bersentuhan secara actual dengan Sesuatu yang Lain ini. Anda boleh bangga telah berkontribusi bagi suatu gerakan-gerakan kebaikan yang besar, namun itu tidak ada artinya apapun secara spiritual bila tidak terdapat rasa kepenuhan atau kelimpahan dari dalam hati, bila tidak terdapat realisasi bahwa Anda bukan siapa-siapa kecuali hanya sebagai sarana bagi Kekuatan dari Dalam untuk mewujud keluar.

Tanpa menyentuh dimensi kedalaman ini, cepat atau lambat Anda akan mengalami kehabisan energy, karena Anda terus-menerus berusaha untuk berkarya, melayani, memberi dan menolong, dan kemudian Anda terus-menerus mengeluh, tidak puas atau tidak bisa melakukannya lagi. Oleh karena itu, kapanpun Anda menolong orang lain, melayani, melakukan tindakan kebaikan, atau melakukan pekerjaan sehari-hari musti terdapat praktik untuk berakar pada Kesadaran Agung sebagai Keberadaan Anda yang terdalam (being rooted in the the Great Awareness as your Ultimate Being). Tindakan apapun kemudian timbul, berlangsung dan kembali pada kedalaman ini.

Begitu Anda berakar atau menyentuh dimensi kedalaman ini, maka Anda tahu bahwa sesungguhnya bukan “keakuan” Anda yang bertindak, melainkan Sesuatu yang Lain yang lebih besar dari diri Anda yang menggerakkan tindakan tersebut; dan Anda menyadari bahwa kepenuhan atau kelimpahan itu adalah bagian tak terpisahkan dari hidup Anda. Anda tahu bahwa Anda bukanlah actor, melainkan “kendaraan”, “medium”, atau “alat” yang dipakai oleh Kecerdasan Ilahi untuk mewujud ke luar di tengah dunia.

Rasa kepenuhan atau kelimpahan mudah ditemukan dengan melihat kepenuhan atau kelimpahan di luar. Wujud dari seluruh kelimpahan bukanlah di luar Anda. Ia adalah bagian dari siapa Anda yang sesungguhnya. Lihatlah sekeliling Anda. Kelimpahan di luar—keindahan bunga, kehangatan matahari, kelenturan air, kebebasan burung-burung di udara, kestabilan gerak bumi, keceriaan anak-anak, ketulusan tetangga Anda, kemurahan hati sesama—dapat membangkitkan kelimpahan yang tidur di dalam diri Anda. Biarkanlah kelimpahan di luar ini menggetarkan kelimpahan di dalam diri Anda dan menjadikannya mengalir ke luar.

Melihat diri sendiri sebagai serba kekurangan, merasa bahwa orang lain atau dunia menahan apa yang Anda butuhkan, dan percaya bahwa Anda tidak memiliki kebaikan apapun untuk diberikan kepada orang lain adalah permainan ego semata yang menghalang-halangi Anda untuk hidup berkelimpahan.

Sekarang camkanlah bahwa mengakui kebaikan yang sudah ada dalam hidup Anda adalah fondasi dari seluruh kelimpahan. Sebaliknya, merasa serba kekurangan menjadi landasan bagi hidup yang jauh dari kelimpahan.

Faktanya adalah apa pun yang Anda rasa ditahan oleh alam semesta atau Tuhan bagi Anda, sesungguhnya ego Anda sendirilah yang menahannya dari Dunia atau Tuhan. Ego Anda menahannya karena di lubuk hati, Anda merasa Anda kecil dan bahwa Anda tidak mempunyai apapun untuk diberikan.

Segera setelah Anda merasakan kepenuhan dari dalam dan mulai memberi—Anda bukan sebagai “actor” tetapi sebagai “alat”–Anda akan mulai menerima. Yang Anda berikan pertama-tama adalah segala hal yang bersifat spiritual; mewujudkannya secara material adalah hal lain yang bersifat sekunder. Anda tidak akan menerima apa yang tidak Anda berikan. Apapun yang Anda rasakan disembunyikan alam semesta dari Anda, sesungguhnya sudah Anda miliki, namun Anda hanya perlu untuk mengijinkan ini mengalir ke luar dan menjadi kelimpahan. Apabila Anda menahan untuk memberikan kebaikan kepada orang lain, maka Anda sedang menahan alam semesta untuk mendatangkan kebaikan kepada Anda.

Itulah latar belakang mengapa Yesus menekankan dalam ajarannya pentingnya melayani (Markus 10:43-45) dan melayani dari kedalaman adalah kunci hidup dalam kelimpahan. “Setiap orang yang mempunyai, kepadanya akan diberi, sehingga ia berkelimpahan. Tetapi siapa yang tidak mempunyai, apapun juga yang ada padanya akan diambil daripadanya.” (Mateus 25:29).* (Johanes Sudrijanta)

sumber : Pelayanan dan Pertumbuhan Spiritual, Romo J. Sudrijanta

Bebas dari Belenggu Ketidaknyamanan

Tips berikut ini saya praktikkan bagi diri sendiri. Apabila Anda merasa cocok, silahkan mengambil dan mempraktikkannya.

1. Pada saat Anda merasakan ketidaknyamanan (atau kenyamanan sebagai bentuk lain dari ketidaknyamanan), fisik dan/atau psikologis, sadari bukan hanya rasa ketidaknyamanan tetapi terlebih sadari “keakuan” Anda yang mengatakan “Aku tidak nyaman; ketidaknyamanan itu adalah milikku.” Janganlah pikiran menciptakan “si aku”.
2. Janganlah bertanya mengapa Anda merasakan ketidaknyamanan itu untuk mencari sebab-sebabnya, tetapi sadarilah ketidaknyamanan itu dengan perhatian tak terbagi dan pahamilah bagaimana proses ketidaknyamanan itu bisa terjadi pada batin Anda.
3. Jadilah Kesadaran Murni itu sendiri dan kemudian biarkan Kesadaran Murni merasakan ketidaknyamanan yang bukan lagi menjadi “milik keakuan” Anda.
4. Sadariah bahwa kondisi fisik atau psikologis Anda hanyalah salah satu dari banyak lapisan yang membentuk siapa Anda, tetapi itu semua bukanlah Hakikat Anda. “Hakikat Anda yang tak-berhakikat” tidak lain adalah Kesadaran Murni itu sendiri.
5. Rasakan bahwa Kesadaran Murni adalah seperti ruang yang mahaluas, tanpa bentuk, tanpa inti. Kesadaran Murni ini bukan berasal dari apa saja yang bisa Anda kenali dengan pikiran.
6. Janganlah sekali-sekali berpikir, berbicara atau bertindak dengan tubuh Anda di luar Kesadaran Murni. Apabila pikiran, kata dan tindakan Anda terpisah dari Kesadaran Murni, rasakan ketidaknyamanan pada tubuh dan batin Anda. Jadilah kembali Kesadaran Murni yang merasakan ketidaknyamanan Anda.
7. Dari ruang Kesadaran Murni yang mahaluas, biarkan pikiran, kata-kata dan tubuh Anda bekerja semata-mata sebagai alat ataupun ekspresi dari Kecerdasan Ilahi yang timbul dari dalam.
8. Janganlah coba-coba untuk menyembuhkan atau mengubah keadaan batin Anda, tetapi cukup bertahanlah untuk tinggal bersama ketidaknyamanan Anda dalam Kesadaran Murni, tanpa menambah atau mengurangi.
9. Biarkan kondisi fisik dan mental Anda yang Anda sadari dengan perhatian total tak-terbagi mengubah Anda—membuat Anda keluar dari identifikasi dengan tubuh fisik dan mental–hingga energi ketidaknyamanan sepenuhnya mekar dan layu.
10. Ambillah waktu yang cukup untuk hadir sepenuhnya pada bentuk-bentuk ketidaknyamanan Anda–betapapun kuat atau lemah, kasar atau halus. Perhatikan di tingkatan mana Anda hadir—di tingkatan kesadaran pikiran atau Kesadaran Murni.
11. Tunggulah hingga Kesadaran Murni terbangkitkan secara alamiah di balik rasa ketidaknyamanan dan rasakan bahwa Kesadaran Murni atas ketidaknyamanan adalah Kebebasan dari rasa ketidaknyamanan.
12. Lakukan praktik Kesadaran Murni ini terus-menerus hingga setiap beban ketidaknyamanan fisik dan/atau psikologis dapat ditanggung dengan relative ringan atau Anda dibebaskan sama sekali dari belenggu ketidaknyamanan.
Let us be grounded in the Land of Freedom in every single moment!
Breathe n Smile!
js

2 Comments:
  • sianty suyatna
    October 21, 2015 at 12:34 pm

    Mo, Bagaimana cara aplikasinya ? Sepertinya kalau baca mengerti tp bingung mempraktekannyaaaa

    Reply


    • J. Sudrijanta
      October 22, 2015 at 3:00 pm

      Coba ambil satu point saja dan terus dipraktikkan setiap hari selama seminggu. Lalu minggu berikutnya point berikutnya dan seterusnya. Sadari fakta batin seperti ditunjukkan oleh point-point tersebut.Sadari, sadari, sadari. Itu saja “teknik”-nya.

      Reply





Tuesday, November 18, 2014

Berilah dan Jangan Pernah Meminta

“Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia …” (Mateus 18:15)

Apabila pernyataan dari kutipan tersebut di atas dirumuskan ulang secara lebih positif, bunyinya akan seperti ini, “Bantulah saudaramu untuk kembali kepada kesucian, kedamaian dan kekuatan yang menjadi esensi dari jiwa!”

Apa bedanya antara jiwa yang kuat dan jiwa yang lemah. Orang yang dalam kesadaran murni menghendaki sesuatu terjadi dan menjadi kenyataan, kita menyebut jiwa orang tersebut kuat. Sebaliknya orang yang menghendaki sesuatu terjadi tetapi tidak pernah terjadi, kita menyebut jiwa orang tersebut lemah.

Apabila Anda dipertemukan dengan orang yang jiwanya lemah, setiap kali jatuh pada kelemahan yang sama atau jatuh dari kelemahan yang satu ke kelemahan yang lain, pertolongan terbaik seperti apa yang bisa Anda berikan kepadanya?

Anda bisa menolong dengan memberikan energy spiritual yang terbaik. Penerimaan, pemahaman dan apresiasi adalah tiga macam energy spiritual dasariah yang sangat dibutuhkan untuk menolong jiwa-jiwa.

Pertama-tama kita perlu menerima bahwa apapun yang dilakukan orang lain adalah benar menurut keterkondisiannya. Apabila anak-anak Anda melakukan hal-hal yang buruk atau jahat dalam ukuran umum, misalnya, tindakan mereka adalah benar menurut keterkondisian mereka. Menerima bukan berarti setuju dengan apa yang mereka pikirkan atau lakukan. Menerima keadaan mereka seperti apa adanya membuat kita akan mampu memahami bahwa tindakan mereka hanyalah buah dari keterkondisian mereka. Dengan mengembangkan kemampuan untuk menerima dan memahami, maka kita akan mudah melihat kekuatan-kekuatan positif yang tersembunyi dalam diri mereka dan membangkitkan kekuatan-kekuatan tersebut dengan memberikan apresiasi.

Dulu ketika saya masih kecil, pertama kali saya belajar naik sepeda motor Honda GL kelas 3 Sekolah Menengah Pertama. Saya adalah anak ke-8 dari 10 bersaudara dan kakak saya nomor 2 adalah orang yang mengajari saya bagaimana mengendarai sepeda motor Honda. Ia meminta saya duduk di depan dan ia membonceng di belakang. Karena baru pertama kali mengendarai motor Honda, sebentar-sebentar motor mogok karena gasnya kurang kuat atau kurang percaya diri. Karena sudah terlalu sering mogok, saya tidak enak dan beberapa kali berkata, “Saya tidak bisa.” Saya berharap kakak saya mengambi kembali kendali motornya. Tetapi kakak saya selalu mengatakan dengan sabar, “Kita coba lagi, Kamu pasti bisa.” Kami menyusuri jalan Bulu ke arah Jalan Raya Magelang di Salam sejauh sekitar 5 km dan motor mogok belasan kali. Akhirnya sampai juga di ujung Jalan Raya Magelang dengan lega. Kelegaan hanya berlangsung sebentar karena kakak saya mengatakan harus pergi ke Slawi saat itu pula dengan bus sehingga saya harus pulang sendiri dengan motornya. Setelah ambil nafas dalam-dalam, saya hidupkan mesinnya dan saya pulang sendirian. Apa yang terjadi? Luar biasa. Saya sampai di rumah tanpa mogok satu kali pun. Saya lalu memberi tahu kakak saya bahwa saya pulang tanpa mogok dan mengatakan, “Hari ini saya bertemu dengan seorang guru yang hebat.” Ceritanya barangkali akan berbeda apabila anak kecil dalam kisah di atas dipersalahkan atau dibodoh-bodohi setiap kali motor yang dikendarainya mogok.

Penerimaan, pemahaman dan apresiasi yang paling baik bisa kita berikan kepada setiap jiwa. Kita tidak mungkin melihat perubahan mendasar selama jiwa lemah atau tidak memiliki kekuatan dari dalam. Dalam jiwa yang lemah, segala bentuk hukuman, tuntutan, atau paksaan dari luar untuk berubah tidak mendatangkan perubahan. Maka pertolongan yang paling baik adalah berikan dukungan dan energy spiritual yang paling baik kepadanya. Jiwa-jiwa yang lemah tidak membutuhkan banyak kata-kata nasehat, melainkan kekuatan spiritual. Dengan menerima dukungan dan energy spiritual yang paling baik, jiwa yang lemah akan menjadi kuat dan jiwa yang kuat akan mendatangkan perubahan mendasar secara alamiah.

Dalam berelasi dengan jiwa-jiwa yang lemah, kita perlu ingat ini: “Saya harus memberi dan bukan mengambil.” Apabila kita tidak memahami orang yang sedang bergulat dan kita hanya menuntut, memaksa, meminta untuk berubah, maka kita tidak memberi, tetapi mengambil. Apabila kita menunggu orang lain melakukan sesuatu yang kita harapkan dan barulah kemudian kita memberi, itu namanya bukan memberi tetapi mengambil. Apabila kita memberi karena kita merasa terganggu dengan kehadiran atau permintaan orang lain, maka itu bukan tindakan memberi, tetapi mengambil. Apabila Anda mengambil, jiwa Anda sendiri lemah dan jiwa yang lemah tidak mungkin bisa member berkah.

Mari kita merealisasikan kebenaran ini, bahwa kita adalah jiwa-jiwa pemberkah dan Allah adalah Sang Pemberkah Utama. Untuk bisa menjadi pemberkah, jiwa harus benar-benar penuh. Bagaimana caranya agar jiwa bisa selalu penuh dengan berkah?

Pertama, setiap pagi, kita harus menyediakan waktu dalam keheningan doa untuk membiarkan berkah dari Allah Sang Pemberkah Utama memenuhi jiwa kita. Kita hanya boleh menerima berkah dari Sang Pemberkah, bukan dari sesama makhluk. Kita boleh menarik berkah apapun yang kita butuhkan. Kristus menegaskan, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu.” (Mateus 7:7) Apalagi jiwa-jiwa bertemu dalam kesadaran akan kehadiran Allah Sang Pemberkah dan sepakat untuk “meminta” atau merealisasikan berkah yang sungguh dibutuhkan, maka Allah Sang Pemberkah akan menganugerahkan berkahnya. (Bdk Mateus 18:19)

Mengapa jiwa kita harus dipenuhi dengan kekuatan-kekuatan spiritual setiap pagi? Seperti halnya kita perlu mengawali hari dengan tenaga yang penuh untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sehari-hari, begitu pula jiwa kita harus mencapai kepenuhan di awal hari agar jiwa kita bisa berfungsi sebagai pemberkah secara penuh. Apabila keheningan doa setiap pagi kita lupakan, jiwa tidak memiliki kekuatan penuh dan tidak mungkin berfungsi menjadi pemberkah. Akibatnya, jiwa makin menjadi lemah dan cenderung akan mengambil dari sesama makhluk untuk mengisi kekosongan dirinya.

Berkah apa yang diminta? Pertama-tama bukan hal-hal fisik, melainkan hal-hal rohani, seperti bertambahnya rasa damai, kesucian, ketenangan, kestabilan, kekuatan, antusiasme, kasih, kebahagiaan, kebijaksanaan, penerimaan, pemahaman, dst. Hal-hal tersebut hanya bisa kita terima dari Allah Sang pemberkah, bukan dari sesama makhluk.

Terhadap sesama dan segala makhluk, sejauh mungkin kita berlatih untuk selalu memberi, bukan mengambil. Terhadap Sang Penganugerah, kita berlatih untuk menerima anugerah sampai penuh. Bukan sebaliknya: dari sesama makhluk kita mengambil, kepada Sang Pencipta kita memberi.

Apabila kita memberi sesungguhnya kita menerima. Kita hanya menerima sejauh mana kita memberi. Siapakah yang pertama kali menerima kebaikan yang kita berikan? Ketika kita memberi kebaikan, kitalah yang pertama kali menerima kebaikan; barulah kemudian orang lain. Ketika orang lain menerima kebaikan yang kita berikan, anugerah kebaikan itu akan kembali kepada kita dan membuat anugerah kebaikan kita akan bertambah.

Syarat kedua agar kita kembali menjadi jiwa yang penuh dan selalu menjadi pemberkah adalah menjaga agar anugerah-anugerah yang sudah kita terima setiap pagi tidak kita bocorkan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat atau sia-sia. Kebocoran terjadi ketika memiliki keinginan-keinginan yang sia-sia dan rintangan-rintangan batin yang lain. Ketika kita bebas dari kebocoran-kebocoran dari saat ke saat, jiwa berfungsi sebagai pemberkah secara penuh dan konstan.

Kita perlu belajar untuk melihat dalam segala sesuatu apa esensinya, bukan perluasannya. Ada seorang guru mengajari 3 muridnya bagaimana melepaskan anak panah pada titik sasaran. Guru bertanya, “Ketika ada burung di depan kalian, kapan saat tepat kalian melepaskan anak panah ke objek sasaran?” Murid pertama menjawab, “Pada saat saya melihat pergerakan pada objek sasaran, saat itu adalah saat tepat saya melepaskan anak panah.” Murid kedua berkata, “Pada saat saya melihat entah kepala, tubuh atau ekornya, saat itu adalah saat tepat saya melepaskan anak panah.” Murid yang ketiga mengatakan, “Pada saat saya yakin saya sampai pada titik kestabilan dan melihat titik matanya, saat itu adalah saat tepat saya melepaskan anak panah.” Guru tahu muridnya yang pertama dan kedua akan gagal dan murid yang ketiga akan berhasil.

Pandangan seorang pemanah yang terlatih tidak tertuju pada tubuh burung, tetapi pada titik mata burung. Tubuh burung adalah perluasan dan mata burung adalah titiknya. Melihat titik adalah melihat esensinya. Apa yang Anda lihat ketika seorang perempuan, misalnya, datang kepada Anda? Apakah Anda melihat lentik matanya, kemilau rambutnya, bibirnya, buah dadanya, kakinya? Itu semua adalah perluasan, bukan esensinya? Apa esensinya? Ia adalah jiwa; ia adalah kesadaran murni. Itulah titiknya; itulah esensinya. Ia tidak berbeda dengan siapa kita yang sesungguhnya.

Identitas sebagai perempuan atau laki-laki, buruk rupa atau rupawan, suami atau isteri, anak atau orang tua, orang berpunya atau tidak berpunya, berpendidikan tinggi atau rendah, semua itu adalah perluasan. Apabila penglihatan kita tertambat pada perluasannya, maka batin kita tergoncang dan tidak stabil. Pada saat kita mencapai titik kestabilan dan kita melihat titik jiwanya, saat itu adalah saat tepat kita melepaskan panah kekuatan spiritual untuk menolong jiwanya.

Pandangan kita harus tertuju pada satu titik. Titik itu adalah “Aku musti mencapai titik kestabilan. Aku dan orang lain tidaklah berbeda. Kita adalah jiwa; kita adalah kesadaran murni. Aku harus selalu memberi dan jangan pernah mengambil. Yang aku berikan adalah energy spiritual yang terbaik. Untuk bisa memberi, jiwa harus selalu penuh. Untuk bisa penuh secara konstan, jiwa harus bebas dari keinginan yang sia-sia dan rintangan-rintangan batin.”

Kita perlu melatih ini sekarang dan seterusnya, dari saat ke saat, sehingga ketika kita mendengar suara penderitaan dari jiwa-jiwa yang datang, kita mampu memberi pertolongan terbaik. Dan ketika kita mendengar jeritan kepedihan dari jiwa kita sendiri, kita mampu dengan cepat mengatasinya, secepat kita melepaskan anak panah pada titik sasaran.* js

Sumber : Berilah dan Jangan Pernah Meminta, Romo J. Sudrijanta