Oleh: J Krishnamurti
Apakah asal mula
dari seluruh eksistensi, mulai dari sel-sel yang paling kecil
sampai otak yang paling rumit? Apakah ada awal dari semua ini, dan
apakah ada akhir dari semua ini? Apakah penciptaan itu? Untuk
menggali ke dalam sesuatu yang sama sekali tidak diketahui, tidak
terbayangkan sebelumnya, tanpa terperangkap dalam ilusi
sentimental dan romantik apa pun, harus ada kualitas otak yang
sepenuhnya bebas dari seluruh keterkondisiannnya, dari seluruh
pemrogramannya, dari setiap macam pengaruh, dan dengan demikian
sangat peka dan sangat aktif. Mungkinkah itu? Mungkinkah mempunyai
batin, otak, yang luar biasa hidup, tak terperangkap kerutinan apa
pun, bukan mekanis? Apakah kita punya otak yang di situ tidak
terdapat ketakutan, tiada kepentingan-diri, tiada kegiatan yang
berpusat pada diri? Kalau tidak, ia hidup di bawah bayangannya
sendiri sepanjang waktu, ia hidup dalam lingkungan kesukuannya
yang terbatas, seperti seekor binatang tertambat pada sebuah
tiang.
Sebuah otak harus
punya ruang. Ruang bukan hanya jarak dari sini ke sana, ruang
menyiratkan berada tanpa pusat. Jika Anda punya pusat dan Anda
bergerak dari pusat ke tepi, betapa pun jauhnya tepi itu, itu
masih terbatas. Jadi, ruang mengisyaratkan tiadanya pusat dan
tiadanya tepi, tiada perbatasan. Punyakah kita otak yang tidak
termasuk ke dalam apa pun, tak melekat kepada apa pun --kepada
pengalaman, kesimpulan, harapan, cita-cita-- sehingga ia
sungguh-sungguh bebas sepenuhnya? Jika Anda memikul beban, Anda
tidak bisa berjalan jauh. Jika otak kasar, vulgar, berpusat pada
diri, ia tidak bisa mempunyai ruang yang tak terbatas. Dan ruang
mengisyaratkan --kita menggunakan kata ini dengan sangat
berhati-hati-- kekosongan.
Kita mencoba
menemukan apakah mungkin hidup di dunia tanpa rasa takut apa pun,
tanpa konflik apa pun, dengan rasa welas asih yang hebat, yang
menuntut banyak kecerdasan. Anda tidak bisa memiliki welas asih
tanpa kecerdasan. Dan kecerdasan itu bukan kegiatan pikiran. Kita
tidak bisa penuh welas asih jika kita melekat kepada ideologi
tertentu, kepada kesukuan tertentu yang sempit, atau kepada konsep
keagamaan apa pun, oleh karena hal-hal itu membatasi. Dan welas
asih hanya bisa datang --ada-- apabila terdapat pengakhiran
kesedihan, yang adalah pengakhiran gerakan yang berpusat pada
diri.
Jadi ruang
mengisyaratkan kekosongan (emptiness), bukan apa-apa (nothingness). Dan oleh karena tidak ada apa-apa yang dibentuk
oleh pikiran, ruang itu mempunyai energi yang hebat. Jadi otak
harus memiliki kualitas kebebasan penuh dan ruang. Artinya, kita
harus sebagai bukan apa-apa (nothing). Kita semua
merasa sebagai sesuatu: analis, psikoterapis, dokter. Itu
boleh-boleh saja, tetapi apabila kita adalah terapis, ahli
biologi, teknisi, identifikasi-identifikasi seperti itu membatasi
keutuhan otak.
Hanya apabila ada
kebebasan dan ruang, kita dapat bertanya apa meditasi itu. Hanya
apabila kita telah meletakkan landasan ketertiban dalam hidup,
kita dapat bertanya apakah meditasi sejati itu. Tidak mungkin ada
ketertiban bila ada ketakutan. Tidak mungkin ada ketertiban bila
ada konflik apa pun. Rumah-batin kita harus berada dalam
ketertiban sepenuhnya, sehingga terdapat kemantapan kuat, tanpa
celoteh ke mana-mana. Terdapat kekuatan besar di dalam kemantapan
itu. Jika rumah tidak tertib, meditasi Anda tidak banyak berarti.
Anda bisa membuat berbagai ilusi, berbagai pencerahan, berbagai
disiplin harian, semua itu masih terbatas, khayal, oleh karena
datang dari ketidaktertiban. Semua ini logis, waras, rasional; itu
bukan sesuatu yang diciptakan oleh pembicara untuk Anda terima.
Bolehkah saya gunakan istilah ‘ketertiban tak terdisiplin’? Kalau
tidak ada ketertiban yang bukan ketertiban terdisiplin, meditasi
menjadi amat dangkal dan tanpa arti.
Apakah ketertiban
itu? Pikiran tidak bisa menciptakan ketertiban psikologis oleh
karena pikiran itu sendiri adalah ketidaktertiban, oleh karena
pikiran berdasar pada pengetahuan, yang berdasar pada pengalaman.
Semua pengetahuan terbatas, dan dengan demikian pikiran juga
terbatas, dan apabila pikiran mencoba menciptakan ketertiban ia
menghasilkan ketidaktertiban. Pikiran menciptakan ketidaktertiban
melalui konflik antara ‘apa adanya’ dengan ‘apa seharusnya’, apa
yang aktual dengan apa yang teoretis. Tetapi hanya ada apa yang
aktual, bukan apa yang teoretis. Pikiran memandang kepada apa yang
aktual dari sudut pandang yang terbatas, dan dengan demikian
tindakannya mau tidak mau menciptakan ketidaktertiban. Apakah kita
melihat ini sebagai kebenaran, sebagai hukum, atau sekadar suatu
ide? Misalkan saya serakah, iri hati; itulah ‘apa adanya’;
lawannya tidak ada. Tetapi lawannya diciptakan oleh manusia, oleh
pikiran, sebagai cara untuk memahami ‘apa adanya’ dan juga sebagai
cara untuk lari dari ‘apa adanya’. Tetapi hanya ada ‘apa adanya’,
dan bila Anda melihat ‘apa adanya’ tanpa lawannya, maka
penglihatan itu sendiri membawa ketertiban.
Rumah kita harus
tertib, dan ketertiban ini tidak bisa dihasilkan oleh pikiran.
Pikiran menciptakan disiplinnya sendiri: lakukan ini, jangan
lakukan itu; ikuti ini, jangan ikuti itu; ikuti tradisi, jangan
ikuti tradisi. Pikiran adalah penuntun yang melalui itu kita
berharap akan menghasilkan ketertiban, tetapi pikiran itu sendiri
terbatas, dengan demikian ia pasti akan menciptakan
ketidaktertiban. Jika saya terus-menerus mengulang, saya seorang
Inggris, atau saya seorang Prancis, atau saya seorang Hindu, atau
seorang Buddhis, kesukuan seperti itu sangat terbatas, kesukuan
seperti itu menyebabkan kekacauan besar di dunia. Kita tidak
menggali sampai ke akarnya dan mengakhiri kesukuan; kita malah
mencoba menciptakan perang yang lebih baik. Ketertiban hanya bisa
muncul apabila pikiran, yang diperlukan dalam bidang-bidang
tertentu, tidak diberi tempat di dunia psikologis. Dunia itu
sendiri tertib bila pikiran tidak ada.
Penting untuk
memiliki otak yang sama sekali hening. Otak mempunyai iramanya
sendiri, aktif tanpa henti, berceloteh dari satu topik ke topik
lain, dari satu pikiran ke pikiran lain, dari satu hubungan (association) ke hubungan lain, dari satu keadaan ke keadaan
lain. Ia terus-menerus sibuk. Biasanya kita tidak menyadarinya,
tetapi bila kita sadar (aware) tanpa pilihan
apa pun, sadar-tanpa-pilihan (choicelessly aware) terhadap gerakan
ini, maka kesadaran (awareness) itu sendiri,
perhatian (attention) itu sendiri, mengakhiri celoteh itu. Harap lakukan
ini, dan Anda akan melihat betapa sederhananya semua ini.
Otak harus bebas,
memiliki ruang dan keheningan psikologis. Anda dan saya berbicara
satu sama lain. Kita menggunakan pikiran karena kita berbicara
menggunakan bahasa. Tetapi berbicara dari keheningan ... Harus ada
kebebasan dari kata. Maka otak sama sekali hening, sekalipun ia
mempunyai iramanya sendiri.
Lalu apakah
penciptaan, apakah awal dari semua ini? Kita menyelidik ke dalam
asal mula semua kehidupan, bukan hanya kehidupan kita, tetapi
kehidupan setiap benda yang hidup: ikan paus di samudra yang
dalam, ikan lumba-lumba, ikan yang kecil, sel-sel yang amat kecil,
alam yang luas, keindahan seekor harimau. Dari sel yang paling
kecil sampai manusia yang paling rumit--dengan segala temuannya,
dengan segala ilusinya, dengan takhayulnya, dengan
pertengkarannya, dengan perangnya, dengan keangkuhannya,
kevulgarannya, dengan aspirasinya yang hebat dan depresinya yang
dalam--apakah asal mula semua ini?
Nah, meditasi
berarti sampai ke sini. Bukan berarti Anda yang sampai ke sini. Di
dalam keadaan diam itu, di dalam keheningan itu, di dalam
ketenangan yang mutlak itu, adakah suatu awal? Dan jika ada awal,
harus ada akhir. Apa yang memiliki sebab harus berakhir. Di mana
ada sebab, tentulah ada akhir. Itulah hukum, itu alami. Jadi
adakah sebab-musabab bagi penciptaan manusia, penciptaan seluruh
cara hidup? Adakah awal dari semua ini? Bagaimana kita
menemukannya?
Apakah penciptaan
itu? Bukan dari si pelukis, bukan dari si penyair, bukan pula dari
orang memahat sesuatu dari batu pualam; semua itu adalah
benda-benda yang terwujud (manifested). Adakah sesuatu
yang tidak terwujud? Adakah sesuatu yang, oleh karena tidak
terwujud, tidak mempunyai awal dan akhir? Kita semua adalah
perwujudan (manifestations). Bukan dari sesuatu yang ilahi atau sesuatu yang
lain, kita adalah hasil dari ribuan tahun apa yang dinamakan
evolusi, pertumbuhan, perkembangan, dan kita juga berakhir. Apa
yang mewujud selalu dapat dimusnahkan, tetapi apa yang tidak
mewujud tidak punya waktu.
Kita bertanya,
adakah sesuatu yang di luar waktu. Itu telah diselidiki oleh para
filsuf, ilmuwan dan orang-orang agama, untuk menemukan apa yang di
luar ukuran manusia, yang di luar waktu. Oleh karena, jika kita
dapat menemukannya, atau melihatnya, itulah kekekalan (immortality). Itu di luar kematian. Manusia telah mencari ini,
dengan berbagai cara, di berbagai penjuru dunia, melalui berbagai
kepercayaan, oleh karena bila kita menemukan, merealisasikan itu,
maka hidup tidak mempunyai awal dan akhir. Ia ada di luar semua
konsep, di luar semua harapan. Itu sesuatu yang mahaluas.
Sekarang, turun
kembali membumi. Lihat, kita tidak pernah memandang hidup, hidup
kita sendiri, sebagai suatu gerakan hebat dengan kedalaman besar,
keluasan. Kita telah memerosotkan hidup kita menjadi sesuatu yang
kecil, remeh. Dan hidup adalah hal paling suci yang ada. Membunuh
orang adalah kengerian yang paling tidak religius, atau menjadi
marah, keras terhadap orang lain.
Kita tidak pernah
melihat dunia sebagai keutuhan oleh karena kita begitu
terpecah-belah, begitu amat terbatas, remeh. Kita tidak pernah
memiliki rasa keutuhan, di mana benda-benda di laut, benda-benda
di bumi, alam sekitar, langit, alam semesta, adalah bagian dari
kita. Bukan dikhayalkan--Anda bisa melambung dalam suatu khayalan
dan membayangkan bahwa Anda adalah alam semesta, lalu Anda menjadi
sinting. Tetapi patahkan kepentingan kecil yang berpusat pada diri
ini, jangan berhubungan dengan itu lagi, dan dari situ Anda bisa
bergerak tanpa batas.
Dan meditasi
adalah itu, bukan duduk bersila, atau berdiri di atas kepala Anda,
atau melakukan apa pun yang Anda suka, melainkan memiliki rasa
keutuhan dan kesatuan sempurna dari kehidupan. Dan itu hanya bisa
datang apabila terdapat cinta dan welas asih.
Salah satu
kesulitan kita ialah bahwa kita telah mengaitkan cinta dengan
kenikmatan, dengan seks, dan bagi kebanyakan dari kita cinta juga
berarti kecemburuan, kecemasan, kepemilikan, kelekatan. Itulah
yang kita namakan cinta. Apakah cinta kelekatan? Apakah cinta
kenikmatan? Apakah cinta keinginan? Apakah cinta lawan dari
kebencian? Jika ia lawan dari kebencian, maka ia bukan cinta.
Semua lawan mengandung lawannya. Ketika saya mencoba untuk menjadi
berani, keberanian itu lahir dari ketakutan. Cinta tidak mungkin
punya lawan. Cinta tidak mungkin ada bila ada kecemburuan, ambisi,
keagresifan.
Dan di mana ada
sifat cinta, dari situ muncullah welas asih. Bila ada welas asih
itu, ada kecerdasan--tetapi itu bukan kecerdasan dari kepentingan
diri sendiri, atau kecerdasan pikiran, atau kecerdasan dari
pengetahuan yang banyak. Welas asih tidak ada kaitannya dengan
pengetahuan.
Hanya dengan welas
asih ada kecerdasan yang memberi manusia rasa aman, kemantapan,
kekuatan yang amat besar. ***
[Dari: “This Light In Oneself –
True Meditation”, oleh J. Krishnamurti, 1999, Bab 9]
Diterjemahkan oleh
Hudoyo Hupudio
No comments:
Post a Comment